Cerpen, Esai

Undang – Undang Usang

(Dongeng negeri Sintetis)

oleh : Irine Helmiani

 

Aku sedang duduk di bawah pohon beton beralas rumput sintetis, Mengamati beberapa objek bergerak, berkelebat, berjalan di depanku. Warna-warni rupanya, atau katakan saja rupa-rupa warnanya, tinggal tunggu saja yang mana yang meletus duluan, hahah!

Maaf, maaf.. aku bohong soal itu. Sebenarnya aku sudah beberapa ratus tahun berkelana di tempat ini namanya ‘negeri sintetis’, lucu kan? Seperti rumput yang aku duduki, ah! Jika saja aku dapat memperlihatkannya, disini lebih banyak hal sintetis lain yang menakjubkan yang mungkin tidak pernah dilihat manusia sebelumnya.

Aku sudah beberapa kali datang ketempat ini, dan tidak banyak pilihan warna di tempat ini. Hanya ada putih abu, putih biru, putih merah, dan putih hitam. Ketiga warna pertama adalah prajurit beruntung yang dijunjung oleh Raja pintar bernama Pendidikan. Dan satu warna lain adalah warna tawa yang dengan rendah dianggap bodoh.

Awalnya aku terkesima dengan warna-warna milik sang Raja. Aku pikir ajaib! Kepintaran bisa dengan mudah ditularkan dengan hanya duduk termangu di atas bangku. Dan begitu terharu melihat warna kelam milik kebodohan yang sekali dua tergelak menertawakan dirinya, kebodohannya mungkin.‘Bodoh! Kenapa kalian tidak lahir dari keluarga bangsawan yang berlimpah harta?!’ Begitu teriakan yang sering aku dengar saat beberapa aparat kerajaan menemukan anak-anak kaum putih hitam yang tertawa dipinggir jalan, menertawakan nasibnya untuk mendapat seperak duaperak kehidupan.

‘Kasihan sekali Aparat ‘Bodoh’ yang bertanya tentang ‘kebodohan’, kataku sambil menyungging senyum.

Oh ya, aku lupa bercerita. Raja pendidikan cuma salah satu Raja dari sekian banyak Raja yang diperintah Raja dari sang Raja. Raja dengan tahta tertinggi bernama ‘Pemerintahan’. Baru-baru ini aku bertemu dengan beberapa utusannya yang umurnya jauh lebih tua dari umurku. Konon mereka adalah sabda yang dicetus dalam undang-undang usang pada masa ‘Kemerdekaan’.

Utusan yang aku temui adalah keluarga Pa’ sal nomor 31 dari undang-undang usang. Pada tahun pertama aku bertemu dengan Pa’ sal 31 ayat 1, ia adalah turunan pertama di keluarganya. Ia menceritakan dengan lantang perannya di ‘Pemerintahan’ ; “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. ‘Apa?!Jadi tugasmu adalah menjamin hak setiap negara untuk mendapatkah ‘Pendidikan?’ tanyaku takjub. “Tentu saja!” Katanya bangga. “Lalu bagaimana nasib kaum putih hitam yang selama ini…” kalimatku tertahan, melihat kesedihan di raut muka Pa’ Sal 31 ayat 1.“‘Pemerintah’ dengan tega mengebiri hak kaum putih hitam yang seharusnya aku bela. ‘Hak’ dalam kamus pemerintah adalah ‘HARGA MAHAL’ bagi kaum putih hitam yang tak berpunya. Dan aku tak berdaya, karena aku hanya sabda.” Ucapnya sebelum menghilang.

Belum habis aku memikirkan kalimat Pa’ Sal 31 ayat satu, di tahun kedua aku secara tidak sengaja bertemu dengan turunan kedua dari Pa’ Sal 31 ayat 2. Menurutnya ia berperan sebagai hukum, hukum mutlak (menurutku) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Wah, wah.. aku tak habis pikir mereka berani menggunakan kata ‘Wajib’, Wajib itu artinya HARAM Ditinggalkan! Dilupakan! Diabaikan! Masih soal kaum putih hitam, bukankah mereka bagian dari warga negara yang ‘Wajib’ itu? Tapi mengapa mereka tidak mendapatkan haknya? Aku muali berpikir untuk mengganti nama negeri ini menjadi negeri pendosa!Yang dengan berani mengabaikan kewajibannya.

Pertanyaanku bertambah setelah bertemu dengan Pa’ Sal 31 ayat 2, aku mulai menunggu-nunggu kedatangan keluarga Pa’ Sal 31 selanjutnya. Turunan ketiga, dia datang dengan wajahnya yang berwibawa. Dengan tenang ia menyampaikan perannya; “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang di atur dalam undang-undang (usang).” Aku tergelak, tak mampu menahan tawa. Oh, sudah sukses sekali ‘Pemerintah’ soal iman, takwa, dan akhlak mulia sampai Predator Pedofilia bisa dengan mudah berkeliaran di lingkungan pendidikan! Lalu sistem apa yang di bilang ‘Nasional’, ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ ketika pendidikan tidak merata? Atau mereka yang tidak mendapatkan pendidikan bukan merupakan bagian dari bangsa?Aku rasa yang cerdas di negeri ini bukan bangsa, tapi bangsat! Yang kapanpun mereka mau mereka bisa menggunakan uang ‘Raja’ untuk membuncitkan isi perut mereka. Pa’ Sal 31 ayat 3 pergi dengan raut kecewa.

Semakin hari, semakin tak sabar menunggu turunan Pa’ Sal selanjutnya. Turunan keempat, Pa’ Sal 31 ayat 4. Ia sepertinya sangat kaya. Dengan sombongnya ia bilang, “Negara memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Hem.. 20%? PRIORITAS? Dengan kenyataan kondisi pendidikan yang mengkhawatirkan. Rasanya seperti hidup dalam dunia fiksi yang dari kesemua yang ditulis adalah hanya khayalan. Haruskah undang-undang usang juga aku ganti menjadi undang-undang fiksi?

Akusebenarnya mulai muak dengan keluarga Pa’ Sal 31 yang dari turunan pertama sampai turunan keempat yang hanya datang untuk mengecewakan. Tapi aku terlanjur terikat dengan pertanyaan-pertanyaanku tentang ‘Pendidikan’, maka mau tak mau aku harus bertemu dengan turunan terakhirnya, turunan kelima. Ia datang dari generasi yang boleh dikatakan ‘Maju’. Ia pun berbicara tentang kemajuan; “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Wow, Wow, Wow! Menakjubkan bukan? Teknologi di negeri ini sudah sangat maju saat prajurit putih merah dengan bangga memamerkan tab, ipod, ipad, iphone, smartphone, dan perkakas-perkakas lain yang tidak pernah aku temui dalam masa kecilku. Tapi benarkah kemajuan teknologi mempengaruhi peradaban dan kesejahteraan? Tentu saja, peradaban negeri ini maju dengan pesat, kebelakang! Hahah, lihatlah berapa anak yang memanfaatkan gadgetnya untuk sekedar ‘onani’kaum putih Abu sudah akrab dengan kegiatan ini, sssst! Ini pelajaran biologi yang paling banyak diminati kaum terdidik. putih biru jangan tanya lagi keingin tahuan mereka tak terbendung,terlalu cerdas! Sampai harus mensia-siakan kesempatannya mengenyam pendidikan, kadang-kadang hanya untuk dibilang jagian, pinter sparingan. Putih merah? Ah,mau diapakan lagi semua anak yang sudah mengenal huruf dan membacanya kini dengan mudah mengimplementasikan ilmu ‘tulis’ dan bacanya di mesin pencarian, sebut saja Google. Dan apapun yang mereka cari bisa dengan mudah mereka dapati. Dan kebobrokan moral kaum prajurit ini sungguh mubazir, saat membandingkan dengan kaum putih hitam yang hanya bisa membayangkan bisa duduk di singgasana bernama sekolah. Tapi soal moral itu bukan salah pemerintah! Haha.. Iya, iya.. bukan salah pemerintah. Toh negara ini sudah dari sananya jadi negara konsumtif kok. Racun pun dikonsumsi dengan nikmat!

Dan pada bagian akhir perjalananku di negeri pendosa ini, aku akan menceritakan keberhasilan prajurit cetakan Raja pendidikan. Beberapa dari mereka beruntung menjadi ‘Aktor’ yang berperan sebagai ‘Dewan’ yang mewakili rakyat. Sekali lagi, jangan salahkan pemerintah. Terima saja, wong wakil rakyatnya saja Aktor, gimana negeri ini enggak jadi panggung sandiwara?

Lalu, usangkah sebenarnya undang-undang?Sampai sabda yang bukankah dulu ‘Pemerintah’ yang menyetujuinya? Kenapa sekarang di lupakan? Atau Cuma pura-pura lupa? Aku sudah terlalu tua untuk mempertanyakannya. Generasi muda yang berhak bergerak!

 

Sukabumi, 2 Mei 2016

Irine Helmiani

Leave a comment